dc.description.abstract | Penelitian ini membahas tentang Pasal 245 Undang-undang Nomor 17 Tahun
2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPR menyatakan bahwa
pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR
harus mendapat persetujuan tertulis dari Makhakah Kehormatan Dewan. Ayat (2)
dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana yang dimaksud ayat (1) tidak diberikan
oleh Mahkamah Kehormatan Dewan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
diterimanya permohonan, pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan
sebagaimana yang dimaksud ayat (1) dapat dilakukan.
Tujuan dari skripsi ini untuk mengetahui posisi hukum pemberian persetujuan
tertulis terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana ditinjau dari
asas persamaan hukum, indepensi hukum, dan asas peradilan pidana dengan
Peraturan Perundang-undangan lainnya. Penelitian ini menggunakan metode
penelitian yuridis normatif yang meneliti permasalahan melalui studi pustaka dan
penelususran hukum seabagai norma. Metode dalam penelitian ini dengan
menggunakan metode pendekatan perundang-undangan (Statute Approach),
pendekatan dengan pendapat para pakar hukum (Conceptual Approach), dan
pendekatan kasus (Case Approach ).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Mahkamah Kehormatan Dewan
dalam menangani kasus Setya Novanto telah melampaui batas pemberian ijin 30 hari
terhadap penegak hukum dalam hal meminta keterangannya karena disaat yang sama
Setya Novanto sedang menjalani proses persidangan di Mahkamah Kehormatan
Dewan dan hal ini melanggar ketentuan Pasal 245 Undang-undang Nomor 17 Tahun
2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD | en_US |