• English
    • Bahasa Indonesia
  • English 
    • English
    • Bahasa Indonesia
  • Login
View Item 
  •   DSpace Home
  • Faculty of Law
  • Law
  • Final Project (Law)
  • View Item
  •   DSpace Home
  • Faculty of Law
  • Law
  • Final Project (Law)
  • View Item
JavaScript is disabled for your browser. Some features of this site may not work without it.

“KEABSAHAN PERKAWINAN BEDA AGAMA PASCA PUTUSAN MK NO.68/PUU-XII/2014”

Thumbnail
View/Open
SAMPUL.pdf (20.18Mb)
Abstrak.pdf (87.28Kb)
BAB I.pdf (327.7Kb)
BAB II.pdf (426.8Kb)
BAB III.pdf (221.1Kb)
Penutup.pdf (91.88Kb)
Pustaka.pdf (188.9Kb)
Lampiran.pdf (82.64Kb)
Date
2018-04-13
Author
KASANDA, HELEND
Metadata
Show full item record
Abstract
Fenomena perkawinan beda agama bukan hal yang baru di Indonesia, meskipun Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur tentang perkawinan yang calon suami atau calon istrinya yang memeluk agama yang berbeda, perkawinan beda agama terus terjadi sementara seluruh agama yang diakui di Indonesia tidak membolehkan adanya perkawinan yang dilakukan jika kedua calon berbeda agama. Dalam hal ini telah terjadi kekosongan hukum bagi pihak yang ingin melakukan perkawinan. Adapun permasalahan yang akan dikemukakan dalam skripsi ini adalah bagaimana kedudukan perkawinan beda agama dalam sistem hukum di Indonesia dan apakah perkawinan beda agama itu sah setelah adanya putusan MK No.68/PUU-XII/2014 mengenai syarat sahnya perkawinan. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif terutama untuk mengkaji peraturan perundang-undangan dan Putusan Pengadilan. Sebagai Penelitian hukum normatif, teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) yaitu, dengan cara studi analisis terhadap data yang dikumpulkan. Selanjutnya, hasil penelitian ini dapat diketahui, bahwa menurut agama dan kepercayaan terdapat larangan dalam melangsungkan perkawinan beda agama karena tidak memenuhi Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Walau demikian perkawinan beda agama tetap dapat dilakukan para dengan menempuh cara mengajukan penetapan pengadilan, hal tersebut berlandaskan Pasal 35 huruf (a) UU No. 23 Tahun 2006, Negara hanya berperan sebagai fasilitator yang bersifat administratif, yaitu dengan melakukan pencatatan perkawinan dengan cara mendata secara administrasi perkawinan yang ditangani oleh petugas pencatat perkawinan, dan Agama yang menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan UU Perkawinan menetapkan keabsahan administratif yang dilakukan oleh negara
URI
http://hdl.handle.net/123456789/1344
Collections
  • Final Project (Law)

DSpace software copyright © 2002-2016  DuraSpace
Contact Us | Send Feedback
Theme by 
Atmire NV
 

 

Browse

All of DSpaceCommunities & CollectionsBy Issue DateAuthorsTitlesSubjectsThis CollectionBy Issue DateAuthorsTitlesSubjects

My Account

LoginRegister

DSpace software copyright © 2002-2016  DuraSpace
Contact Us | Send Feedback
Theme by 
Atmire NV