Show simple item record

dc.contributor.authorSugijanto, Michael
dc.date.accessioned2019-05-15T09:18:24Z
dc.date.available2019-05-15T09:18:24Z
dc.date.issued2019-04-02
dc.identifier.urihttp://hdl.handle.net/123456789/1368
dc.description.abstractPeristiwa Kepailitan pada hakikatnya merupakan salah satu bagian dari dinamika hubungan keperdataan yang berfungsi sebagai jalan keluar manakala Debitor yang memiliki dua atau lebih Kreditor dan sudah tidak mampu untuk melunasi paling tidak salah satu utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Dalam peristiwa inilah acapkali kepentingan Para Pihak berbenturan, terutama antara Kreditor satu dengan Kreditor lainnya. Benturan ini dikarenakan masing-masing pihak merasa lebih berhak atas harta pailit Debitor. Di sinilah posisi Kurator diperlukan untuk menjamin pemenuhan hak Para Pihak secara adil sesuai dengan sifat piutang masing-masing. Namun proses pelaksanaannya tidak selalu berjalan mulus, mengingat hukum di tanah air masih belum terkodifikasi secara utuh dan menyeluruh. Penelitian ini bermaksud untuk menjawab dua rumusan masalah yang sering menjadi ganjalan dalam pemberesan utang Debitor dalam peristiwa Kepailitan. Rumusan masalah yang pertama ialah manakah yang didahulukan pembayarannya antara Kreditor Preferen dengan Hak Istimewa-Separatis yang bersandar pada Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan dan Buruh yang bertopang pada Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan. Rumusan masalah kedua adalah dengan adanya dua putusan MK yang berbeda secara substansial, putusan MK manakah yang memiliki dasar hukum lebih kuat. Metodologi penelitian yang digunakan adalah yuridis-normatif-doktrinal dengan melakukan studi pustaka atau penelusuran hukum sebagai norma atau doktrin. Hasil penelitian atas rumusan masalah pertama menunjukkan bahwa dari segi prosedur, Kreditor Preferen dengan Hak Istimewa-Separatis mempunyai hak untuk menerima terlebih dahulu hasil eksekusi atau penjualan atas jaminan tersebut. Namun dari segi pendahuluan hak, hak Buruh atas upahnya lah yang lebih diutamakan.Hasil penelitian atas rumusan masalah kedua dapat disimpulkan bahwa PMK II memiliki dasar hukum yang lebih kuat dengan adanya asas hukum universal yang disebut dengan lex posterior derogat legi priori dan tidak adanya pertentangan substansial dan hasil putusan PMK II dengan undang-undang. Akhir kata, alangkah baiknya apabila kerancuan ini menjadi pembelajaran yang bermakna bagi Para Ahli Hukum di tanah air. Baik undang-undang maupun putusan akan berdampak sangat besar bagi kehidupan bermasyarakat serta sangat menentukan nasib Para Pihak yang bersengketa dan juga pihak-pihak yang nantinya mengambil tindakan hukum berdasarkan ketentuan-ketentuan maupun putusan-putusan tersebut. Jika hal ini tidak mulai diperbaiki dari sekarang, maka hukum akan saling berbenturan sehingga menimbulkan banyak penafsiran ganda sehingga akan semakin sulit untuk diterapkanen_US
dc.language.isoinaen_US
dc.publisherUniversitas Pelita Harapan Surabaya - Faculty Of Law - Department Of Lawen_US
dc.subjectProses Kepailitanen_US
dc.subjectDebitoren_US
dc.subjectKedudukan Kreditor Preferen dengan Hak Istimewaen_US
dc.subjectKedudukan Kreditor Pemegang Jaminan Kebendaanen_US
dc.subjectUpah Buruh dalam Kepailitanen_US
dc.titleKEDUDUKAN HUKUM ANTARA KREDITOR PEMEGANG JAMINAN KEBENDAAN DAN UPAH BURUH DALAM PERISTIWA KEPAILITAN (ANALISA PUTUSAN MK NO. 18/PUU-VI/2008 DAN PUTUSAN MK NO. 67/PUU-XI/2013)en_US
dc.typeThesisen_US


Files in this item

Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record