• English
    • Bahasa Indonesia
  • Bahasa Indonesia 
    • English
    • Bahasa Indonesia
  • Login
View Item 
  •   DSpace Home
  • Faculty of Law
  • Law
  • Final Project (Law)
  • View Item
  •   DSpace Home
  • Faculty of Law
  • Law
  • Final Project (Law)
  • View Item
JavaScript is disabled for your browser. Some features of this site may not work without it.

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMERINTAH INDONESIA TERHADAP KEBUDAYAAN/SENI DAN SASTRA MILIK RAKYAT INDONESIA YANG DI KLAIM OLEH PEMERINTAH MALAYSIA

View/Open
SAMPUL.pdf (5.876Mb)
BAB I.pdf (149.5Kb)
BAB II.pdf (200.6Kb)
BAB III.pdf (105.2Kb)
BAB IV.pdf (64.83Kb)
DAFTAR PUSTAKA.pdf (76.13Kb)
Date
2013-06-13
Author
ARDIANSYAH, RICKY
Metadata
Show full item record
Abstract
Dalam jangka waktu 5 Tahun, Malaysia telah 7 kali mengklaim Budaya Indonesia, sebagai miliknya.Sepanjang tahun 2007-2012 sedikitnya Malaysia sudah tujuh kali mengklaim budaya Indonesia sebagai warisan budaya negaranya.Windu menjabarkan klaim Malaysia dimulai pada November 2007 terhadap kesenian Reog Ponorogo. Selanjutnya pada Desember 2008, saat itu Malaysia mengklaim lagu “Rasa sayange”, disusul dengan batik yang diklaim Malaysia pada Januari 2009. Masih ada Tari Pendet dari Bali dan alat musik angklung yang juga diklaim oleh Malaysia”. Selain kesenian, klaim semena-mena oleh Malaysia juga dilakukan pada Beras “AND”. Padahal beras tersebut asli berasal dari Nunukan, Kalimantan Timur, kemudian dijual Malaysia dengan merk Bario Rice. Permasalahan diatas merupakan pelanggaran Hak cipta, di Indonesia diatur dalam UUHC, tetapi karena ini merupakan permasalahan yang bersifat Internasional jadi pemerintah Indonesia dapat menuntut pemerintah Malaysia menggunakan Konverensi Berne yang sudah disahkan dalam Keppres RI No.18 Tahun 1997 pasal 33 (1), “bahwa Perkara manapun antara dua negara Uni atau leih mengenai penafsiran atau penerapan konfensi ini, yang tidak selesai dengan negosiasi, dapat, oleh salah satu negara yang dimaksud, dibawa pada Pengadilan Internasional melalui permohonan sesuai dengan statuta Pengadilan, jika tidak negara-negara dimaksud sepakat atas beberapa metode penyelesaian lain. Negara yang membawa perkara tersebut pada Pengadilan harus memberitahukan Biro Internasional; Biro Internasional membawa masalah tersebut untuk menjadi perhatian bagi negara-negara Uni lain. Republik Indonesia menempatkan posisinya bahwa untuk perkara manapun yang ditujukan pada Pengadilan Internasional untuk keputusannya, persetujuan semua pihak untuk perkara tersebut adalah perlu dalam maasing-masing kasus”.
URI
http://hdl.handle.net/123456789/440
Collections
  • Final Project (Law)

DSpace software copyright © 2002-2016  DuraSpace
Contact Us | Send Feedback
Theme by 
Atmire NV
 

 

Browse

All of DSpaceCommunities & CollectionsBy Issue DateAuthorsTitlesSubjectsThis CollectionBy Issue DateAuthorsTitlesSubjects

My Account

LoginRegister

DSpace software copyright © 2002-2016  DuraSpace
Contact Us | Send Feedback
Theme by 
Atmire NV