PERJANJIAN SEWA RAHIM (SURROGACY) DITINJAU DARI KUH PERDATA
Abstract
Perjanjian sewa rahim merupakan perjanjian antara seorang wanita (wanita
surrogate). yang mengikatkan diri melalui suatu perjanjian dengan pihak lain
(pasangan suami-istri) untuk menjadi hamil terhadap hasil pembuahan suami-istri
yang bersangkutan, dengan menanamkan benih dalam rahim wanita tersebut
(wanita surrogate). Dalam suatu perjanjian dibutuhkan 4 (empat) syarat untuk
menjadi sah di mata hukum. Praktik surrogate moher terganjal pada “suatu hal
tertentu” dan “suatu sebab yang halal” karena rahim tidak dapat menjadi objek
perjanjian sebagai hal atau barang yang dapat diperdagangkan dan surrogate
mother tidak memenuhi kepatutan, kebiasaan dan undang-undang. Perjanjian
yang tidak memenuhi “suatu hal tertentu” dan “suatu sebab yang halal” maka
harus batal demi hukum.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah penerapan perjanjian
sewa rahim (surrogacy) telah sesuai dengan Kitab Undang Undang Hukum
Perdata. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yakni upaya
mencari penyelesaian masalah dengan meneliti dan mengkaji norma hukum
positif dengan melakukan studi kepustakaan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perjanjian sewa rahim (surrogacy)
tidak sesuai dengan syarat sahnya perjanjian dalam pasal 1320 KUH Perdata.
Ketentuan pidana terhadap teknologi reproduksi buatan tidak diatur secara jelas,
karena ketentuan pidana dalam UU No. 23 Tahun 1992 telah dinyatakan tidak
berlaku atas dasar pasal 204 UU No. 36 Tahun 2009. Pemerintah haruslah
mengeluarkan peraturan perundang-undangan secara jelas dan disosialisasikan
kepada praktisi medis yang bersangkutan sekaligus diperketat regulasinya pada
Rumah sakit tertentu yang memenuhi persyaratan penyelenggaraan Teknologi
Reproduksi Berbantu.