dc.description.abstract | Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan unifikasi dalam
bidang hukum perkawinan. Terutama yang terdapat pada pasal 29 Undang-Undang
Perkawinan yang mengatur tentang perjanjian kawin. Pasal 29 tersebut mewajibkan
perjanjian kawin dibuat dalam bentuk tertulis dan disahkan oleh pegawai pencatat
perkawinan serta harus didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri. Perjanjian kawin
juga sering menimbulkan beberapa masalah atau peristiwa hukum. Oleh karena itu, kasus
perceraian antara Filemon dan Maha Artha yang diangkat pada tesis ini merupakan salah satu
peristiwa hukum yang timbul akibat adanya perjanjian kawin yang telah dibuat pada tanggal
2 Februari 2001 yang berisi pisah harta, percampuran harta, dan lain sebagainya. Peristiwa
hukum yang terjadi dianggap merugikan dari pihak Maha Artha. Hal tersebut dikarenakan
Maha Artha merasa di tipu daya dan dirayu oleh Filemon untuk memproses jual-beli rumah
beserta Akta jual beli menjadi atas nama Filemon. Setelah ada gugatan cerai, Maha Artha
baru mengetahui bahwa sertifikat atas tanah dan rumah baru adalah milik Filemon,
selanjutnya Maha Artha menggugat Filemon dengan dalil Perbuatan melawan hukum berupa
penipuan dan penggelapan. Jenis penelitian dalam tesis ini adalah penelitian hukum
normative melalui studi kapustakaan. Pendekatan dalam penelitian ini dilakukan melalui
pendekatan perundang-undangan (Statue Approach) dan pendekatan konsep (Conceptual
Approach). Bahan hukum yang digunakan terdiri dari bahan primer, bahan sekunder, dan
bahan tersier. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa perjanjian kawin memiliki kekuatan
hukum yang kuat bagi Hakim yang mengadili perkara gugatan tersebut dan memenangkan
Maha Artha, sehingga perbuatan Filemon merupakan perbuatan melawan hukum berupa
penipuan dan penggelapan. | en_US |